Rabu, 07 Maret 2012

Foke Tunda Pajak Warteg Beromset Rp200 Juta

VIVAnews - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pungutan pajak pada kantin, kafetaria dan warung makan yang beromset Rp200 juta per tahun atau sekitar Rp550.000 per hari. Alasannya, pemerintah perlu kajian lebih lanjut.

Padahal Dinas Pajak DKI Jakarta telah mengumumkan bahwa Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran juga berlaku pada warung tegal (warteg).

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, membenarkan penundaan ini dengan alasan perlunya kajian lebih lanjut.

"Ditunda karena saya kira masih harus didalami lagi. Pagu yang sudah ditetapkan Rp200 juta itu masih dikeluhkan. Kita akan kaji lebih cermat," kata Fauzi Bowo di Jakarta, Rabu, 7 Maret 2012.

Penundaan ini menurut Foke, sapaan akrabnya, belum ditentukan batas waktunya. "Nanti akan kita lihat hasil kajiannya dulu," tegasnya.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pajak DKI Jakarta, Djuli Zulkarnaen, kepada VIVAnews menyatakan, alasan penundaan pemungutan pajak bagi kantin, kafetaria dan warung makan beromset Rp550 ribu per hari ini melihat aspek golongan konsumen.

"Ditujukan bagi warung makan yang konsumennya adalah orang-orang yang kurang mampu," jelasnya.

Pengkajian hingga kini masih berlangsung dan DPP DKI telah mensosialisasikannya kepada para pedagang warteg yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT).

"IKBT tadi sudah hadir dan sudah kami jelaskan. Sejauh ini mereka memahami kebijakan penundaan ini," ujarnya.

Tidak Spesifik

Sebelumnya, Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta, Iwan Setiawandi, menjelaskan dalam Perda No 11/2011 tidak secara spesifik mengatur masalah tentang pajak warteg, melainkan hanya mengatur pajak restoran sebesar 10 persen dari omset penjualan.

Restoran yang dimaksud dalam perda ini, adalah fasilitas penyedia makanan atau minuman dengan dipungut bayaran yang termasuk rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga dan katering.

“Kebijakan ini tidak hanya berlaku di Provinsi DKI Jakarta saja, melainkan juga berlaku diseluruh kabupaten atau kotamadya di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah,” kata Iwan Setiawandi.

Dikatakan Iwan, dalam Perda No. 11 tahun 2011 sebagai pengganti Perda No. 8 tahun 2003 tentang Pajak Restoran, telah disepakati batas minimal restoran yang tidak terkena pajak yaitu restoran atau warung makan yang memiliki omset Rp200 juta per tahun ke bawah, atau Rp16,6 juta per bulan atau Rp550 ribu per hari.

Menurut Iwan, kesepakatan ini dicapai dari hasil pembahasan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI dan rapat kerja Komisi C DPRD DKI bersama pihak eksekutif dan koperasi warteg (Kowarteg) pada tahun 2011 lalu.

Nilai tersebut naik tiga kali lipat dari rancangan perda pajak restoran yang menetapkan batas tidak kena pajak omset kurang dari Rp 60 juta per tahun, atau Rp5 juta per bulan atau Rp167 ribu per hari. Dan lebih tinggi 7 kali lipat dari Perda No. 8/2003 yang menetapkan omset kurang dari Rp30 juta per tahun, atau Rp2,5 juta per bulan atau Rp83 ribu per hari.

“Akhirnya ditetapkan batas minimal tidak kena pajak Rp200 juta pertahun ke bawah. Kami memutuskan angka tersebut berdasarkan pertimbangan dan masukan dari rapat kerja Komisi C. Dalam rapat kerja tersebut Kowarteg menyebutkan omset penjualan warteg minimal 400 ribu per hari hingga 600 ribu per hari,” paparnya. (ren)

• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar